Penulis Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
Syariah Oase 21 - Februari - 2005 19:55:24
Muhasabah pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendak seseorang menahan diri dari keinginan dan tekad utk beramal tdk terburu-buru berbuat hingga jelas bagi bahwa jika ia mengamalkan akan lbh baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yg berhenti saat bertekad . Jika krn Allah mk ia terus melaksanakan dan jika krn selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak utk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukan mk ia berhenti sejenak dan melihat apakah amalan itu dlm kemampuan atau tidak? Jika tdk dlm kemampuan mk tdk dilakukan tapi kalau mampu mk ia berhenti lagi utk melihat apakah melakukan lbh baik daripada meninggalkan atau meninggalkan lbh baik?
Kalau yg kedua mk ia tdk melakukannya. Kalau yg pertama mk ia berhenti utk ketiga kali dan melihat: apakah pendorong adl keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala atau sekedar kedudukan pujian dan harta dari makhluk? Kalau yg kedua mk ia tdk melakukan walaupun akan menyampaikan pada keinginan agar supaya jiwa tdk terbiasa berbuat syirik dan tdk terasa ringan utk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringan dlm beramal utk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala seukuran itu pula berat dlm beramal utk Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hal itu menjadi sesuatu yg paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amal adl krn Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang2 yg membantu –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tdk ia dapatkan? Kalau tdk didapati yg membantu hendak ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri utk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yg membantu dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yg membantu mk lakukanlah niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tdk akan lepas kecuali dari orang yg melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tdk mk dgn terkumpul semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yg seseorang butuh utk memuhasabah jiwa sebelum beramal. Tidak semua yg ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan dan tdk tiap yg mampu dilakukan itu berarti melakukan lbh baik daripada meninggalkannya. Dan tdk tiap yg demikian itu ia lakukan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak pula tiap yg dilakukan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala ia akan mendapatkan bantuan. mk jika ia bermuhasabah pada diri akan jelas bagi apa yg dilakukan dan apa yg akan ditinggalkan.
Berikut adl muhasabah setelah beramal terbagi dlm tiga macam:
Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yg ia tdk memenuhi hak Allah pada di mana ia tdk melakukan sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dlm beramal niat baik kepada Allah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik pada mengakui ni’mat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada menyaksikan ada kekurangan pada diri dlm beramal. Setelah itu semua mk ia memuhasabah diri apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukan ketika melakukan ketaatan itu?
Kedua: muhasabah jiwa dlm tiap amalan yg lbh baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
Ketiga: muhasabah jiwa dlm perkara yg mubah atau yg biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan krn Allah dan negeri akhirat sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengan dunia dan balasan yg cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yg membiarkan amal tdk bermuhasabah berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkara sungguh ini akan menyampaikan diri kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang2 yg tertipu. Ia pejamkan dua mata utk melihat akibat amalan membiarkan berlalu keadaan dan hanya bersandar pada ampunan sehingga ia tdk bermuhasabah dan tdk melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu mk akan mudah melakukan dosa merasa tenang dengan dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga itu lbh gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yg menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib kalau ia ingat ada kekurangan pada diri mk segera menutupi mungkin dgn meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yg terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia melakukan sebuah perbuatan terlarang segera ia susul dgn taubat istighfar dan melakukan amalan yg menghapusnya. Lalu memuhasabah diri pada kelalaian kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan diri segera ia susul dgn dzikrullah dan menghadapkan diri kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur kata pada amalan yg kaki melangkah ke suatu tempat atau pada apa yg dilakukan oleh kedua tangan dan pada perkara yg didengar oleh kedua telinganya; apa yg engkau niatkan dgn ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendak ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan utk tiap gerakan dan kata. Yaitu utk siapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adl pertanyaan tentang keikhlasan dan yg kedua adl pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Tuhanmu Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yg telah mereka kerjakan dahulu.”
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ
“Maka sesungguh Kami akan menanyai umat-umat yg telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguh Kami akan menanyai rasul-rasul . mk sesungguh akan Kami kabarkan kepada mereka sedang mengetahui dan Kami sekali-kali tdk jauh .”
لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا
“Agar Dia menanyakan kepada orang2 yg benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang2 kafir siksa yg pedih.”
Jika orang2 yg jujur dita dan dihitung amal mk bagaimana dgn orang2 yg berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat yg akan dita dengan orang2 terdahulu maupun yg kemudian. Apa yg kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni dita tentang sesembahan dan tentang ibadahnya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang keni’matan .”
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah akan berta kepada kalian tentang ni’mat yg kalian mendapatkan di dunia apa yg kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yg kalian perbuat padanya?”
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berta kepada tiap hamba tentang apa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berupa ni’mat-Nya dan hak-Nya.
Keni’matan yg dita itu ada dua macam:
Pertama ni’mat yg diambil dgn cara yg halal dan dibelanjakan pada hak mk akan dita bagaimana syukurnya.
Kedua ni’mat yg diambil tdk dgn cara yg halal dan dibelanjakan bukan pada hak mk akan dita asal dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan dita dan dihitung segala amal sampai pada pendengaran penglihatan dan qalbu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tdk mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguh pendengaran penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas diri sebelum dita dlm hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajib bermuhasabah pada jiwa adl firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah tiap diri memperhatikan apa yg telah diperbuat utk hari esok dan bertakwalah kepada Allah sesungguh Allah Maha Mengetahui apa yg kamu kerjakan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendak melihat amalan-amalan yg ia lakukan utk hari kiamat apakah amal shalih yg menyelamatkan ataukah amal jelek yg membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikan seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adl bahwa kebaikan qalbu adl dgn muhasabah jiwa dan rusak adl dgn melalaikan dan membiarkannya.
Sumber: www.asysyariah.com (ega kosasih)
Syariah Oase 21 - Februari - 2005 19:55:24
Muhasabah pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendak seseorang menahan diri dari keinginan dan tekad utk beramal tdk terburu-buru berbuat hingga jelas bagi bahwa jika ia mengamalkan akan lbh baik daripada meninggalkannya.
Al-Hasan rahimahullah mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yg berhenti saat bertekad . Jika krn Allah mk ia terus melaksanakan dan jika krn selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan: “Jika jiwa tergerak utk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba bertekad melakukan mk ia berhenti sejenak dan melihat apakah amalan itu dlm kemampuan atau tidak? Jika tdk dlm kemampuan mk tdk dilakukan tapi kalau mampu mk ia berhenti lagi utk melihat apakah melakukan lbh baik daripada meninggalkan atau meninggalkan lbh baik?
Kalau yg kedua mk ia tdk melakukannya. Kalau yg pertama mk ia berhenti utk ketiga kali dan melihat: apakah pendorong adl keinginan mendapatkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala atau sekedar kedudukan pujian dan harta dari makhluk? Kalau yg kedua mk ia tdk melakukan walaupun akan menyampaikan pada keinginan agar supaya jiwa tdk terbiasa berbuat syirik dan tdk terasa ringan utk beramal demi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena seukuran ringan dlm beramal utk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala seukuran itu pula berat dlm beramal utk Allah Subhanahu wa Ta’ala hingga hal itu menjadi sesuatu yg paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amal adl krn Allah Subhanahu wa Ta’ala mk ia berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati orang2 yg membantu –jika amalan itu memang membutuhkan bantuan orang lain– atau tdk ia dapatkan? Kalau tdk didapati yg membantu hendak ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan diri utk berjihad ketika di Makkah hingga beliau mendapatkan orang yg membantu dan punya kekuatan. Kalau ia mendapatkan orang yg membantu mk lakukanlah niscaya ia akan ditolong. Dan keberhasilan tdk akan lepas kecuali dari orang yg melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tdk mk dgn terkumpul semua perkara itu niscaya takkan lepas keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yg seseorang butuh utk memuhasabah jiwa sebelum beramal. Tidak semua yg ingin dilakukan oleh seorang hamba itu mampu dilakukan dan tdk tiap yg mampu dilakukan itu berarti melakukan lbh baik daripada meninggalkannya. Dan tdk tiap yg demikian itu ia lakukan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak pula tiap yg dilakukan krn Allah Subhanahu wa Ta’ala ia akan mendapatkan bantuan. mk jika ia bermuhasabah pada diri akan jelas bagi apa yg dilakukan dan apa yg akan ditinggalkan.
Berikut adl muhasabah setelah beramal terbagi dlm tiga macam:
Pertama: muhasabah pada amal ketaatan yg ia tdk memenuhi hak Allah pada di mana ia tdk melakukan sebagaimana semestinya.
Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dlm beramal niat baik kepada Allah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik pada mengakui ni’mat Allah Subhanahu wa Ta’ala pada menyaksikan ada kekurangan pada diri dlm beramal. Setelah itu semua mk ia memuhasabah diri apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukan ketika melakukan ketaatan itu?
Kedua: muhasabah jiwa dlm tiap amalan yg lbh baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
Ketiga: muhasabah jiwa dlm perkara yg mubah atau yg biasa. Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan krn Allah dan negeri akhirat sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengan dunia dan balasan yg cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yg membiarkan amal tdk bermuhasabah berlarut-larut serta memudah-mudahkan perkara sungguh ini akan menyampaikan diri kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang2 yg tertipu. Ia pejamkan dua mata utk melihat akibat amalan membiarkan berlalu keadaan dan hanya bersandar pada ampunan sehingga ia tdk bermuhasabah dan tdk melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu mk akan mudah melakukan dosa merasa tenang dengan dan akan kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan tahu bahwa menjaga itu lbh gampang daripada menghindari dan meninggalkan sesuatu yg menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu pada amalan wajib kalau ia ingat ada kekurangan pada diri mk segera menutupi mungkin dgn meng-qadha atau memperbaikinya. Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yg terlarang. Kalau ia tahu bahwa ia melakukan sebuah perbuatan terlarang segera ia susul dgn taubat istighfar dan melakukan amalan yg menghapusnya. Lalu memuhasabah diri pada kelalaian kalau ternyata ia telah lalai dari tujuan penciptaan diri segera ia susul dgn dzikrullah dan menghadapkan diri kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur kata pada amalan yg kaki melangkah ke suatu tempat atau pada apa yg dilakukan oleh kedua tangan dan pada perkara yg didengar oleh kedua telinganya; apa yg engkau niatkan dgn ini? Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendak ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan utk tiap gerakan dan kata. Yaitu utk siapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adl pertanyaan tentang keikhlasan dan yg kedua adl pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Tuhanmu Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yg telah mereka kerjakan dahulu.”
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ. فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِينَ
“Maka sesungguh Kami akan menanyai umat-umat yg telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguh Kami akan menanyai rasul-rasul . mk sesungguh akan Kami kabarkan kepada mereka sedang mengetahui dan Kami sekali-kali tdk jauh .”
لِيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَنْ صِدْقِهِمْ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا
“Agar Dia menanyakan kepada orang2 yg benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang2 kafir siksa yg pedih.”
Jika orang2 yg jujur dita dan dihitung amal mk bagaimana dgn orang2 yg berdusta?
Qatadah rahimahullah mengatakan: “Dua kalimat yg akan dita dengan orang2 terdahulu maupun yg kemudian. Apa yg kalian ibadahi? Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni dita tentang sesembahan dan tentang ibadahnya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang keni’matan .”
Muhammad ibnu Jarir rahimahullah mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti Allah akan berta kepada kalian tentang ni’mat yg kalian mendapatkan di dunia apa yg kalian lakukan dengannya? Dari jalan mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa yg kalian perbuat padanya?”
Qatadah rahimahullah mengatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berta kepada tiap hamba tentang apa yg Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan berupa ni’mat-Nya dan hak-Nya.
Keni’matan yg dita itu ada dua macam:
Pertama ni’mat yg diambil dgn cara yg halal dan dibelanjakan pada hak mk akan dita bagaimana syukurnya.
Kedua ni’mat yg diambil tdk dgn cara yg halal dan dibelanjakan bukan pada hak mk akan dita asal dan kemana dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan dita dan dihitung segala amal sampai pada pendengaran penglihatan dan qalbu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلاَ تَقْفُ ماَ لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْيَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كاَنَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tdk mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguh pendengaran penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas diri sebelum dita dlm hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajib bermuhasabah pada jiwa adl firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah tiap diri memperhatikan apa yg telah diperbuat utk hari esok dan bertakwalah kepada Allah sesungguh Allah Maha Mengetahui apa yg kamu kerjakan.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: Seseorang dari kalian hendak melihat amalan-amalan yg ia lakukan utk hari kiamat apakah amal shalih yg menyelamatkan ataukah amal jelek yg membinasakannya?
Qatadah rahimahullah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat sehingga menjadikan seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adl bahwa kebaikan qalbu adl dgn muhasabah jiwa dan rusak adl dgn melalaikan dan membiarkannya.
Sumber: www.asysyariah.com (ega kosasih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar