Taqdir Allah adalah ketentuan yang telah Allah tetapkan. Bahkan jauh sebelum semua makhluq diciptakan, Allah telah menuliskan semua taqdir makhluqnya dari permulaan masa hingga hari akhir.
Namun harus kita pahami bahwa taqdir itu tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah. Jadi kita tidak bisa mengatakan –misalnya- bahwa saya ini tidak bisa jadi kaya karena taqdir Allah. Sebab dari mana kita tahu bahwa di masa yang akan datang itu kita tetap miskin? Jadi bagi manusia dan semua makhluq yagn namanya taqdir Allah itu adalah hal ghaib dan misteri. Karena itu haram hukumnya seseorang berpangku tangan tidak berusaha dengan alasan sudah taqdir. Padahal Allah sendiri sebagai Penulis Taqdir telah memerintahkan kita untuk berusaha dan bekerja serta berikhtiar. Karena itu menyalahkan taqdir adalah dosa karena melawan perintah Allah.
Jauh hari sebelum kita, orang-orangdahulu pun pernah berselisih paham tentang takdir ini menjadi dua kubu yang ekstrem. Yang pertama yang menyerahkan semua pada taqdir, tidak mau bekerja dan berusaha. Yang kedua yang tidak percaya pada taqdir dan berpendirian bahwa manusia 100% menentukan apa yang akan terjadi. Bagi Ahlussunnah wal jamaah, posisi yang benar adalah diantara keduanya, yaitu tidak menafikan taqdir tetapi tetap berusaha.
Orang yang bunuh diri tidak keluar dari taqdir Allah, karena kita baru tahu apakah suatu kejadian itu merupakan taqdir dari Allah atau bukan setelah kejadian itu berlangsung. Jadi bagaimana kita tahu bahwa orang bunuh diri itu takdirnya bukan seperti itu ? Apakah kita bisa tahu taqdir dari Allah sebelumnya sehingga bisa mengatakan bahwa taqdirnya tidak mati bunuh diri, tapi mati di tempat lain.
Sehingga `jatah` manusia bukanlah untuk mempertanyakana apakah suatu kejadian itu sudah sesuai dengan taqdir Allah atau tidak. Tetapi jatah kita hanyalah berusaha untuk mendapatkan kebaikan, kesehatan, keselamanat, keamanan dan semua yang baik-baik. Usaha itu sendiri merupakan perintah Allah.
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW bersbda,”Tidak ada seorang pun dari kamu melainkan telah dicatat / ditentukan tempat kembalinya, ke surga atau ke neraka”. Para shahabat bertanya,”Kalau begitu sebaiknya kita meninggalkan ibadah dan amal lalu bertawakal saja ?”. Rasulullah SAW bersabda,”Beramallah, karena semua orang dimudahkan oleh Allah sesuai dengan penciptaannya”. (HR. Bukhari, Muslim)
Konsep taqdir.
Taqdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani.
a. Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun teperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya , dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata "(QS. Al-an`am 59)
b. Al-Kitabah
Bahwa Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab . Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.(QS. Al-Hajj : 70)
c. Al-Masyiah (kehendak)
Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat / masyiah (kehendak / keinginan) Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaannya yang tidak diinginkannya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-Nya.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin : 82)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.(QS. Al-Baqarah : 253)
d. Al-Khalqu
Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya.
Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.(QS. Az-Zumar : 2)
Wallahu a‘lam bis-shawab.
posted by [A]will(ega kosasih)Namun harus kita pahami bahwa taqdir itu tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah. Jadi kita tidak bisa mengatakan –misalnya- bahwa saya ini tidak bisa jadi kaya karena taqdir Allah. Sebab dari mana kita tahu bahwa di masa yang akan datang itu kita tetap miskin? Jadi bagi manusia dan semua makhluq yagn namanya taqdir Allah itu adalah hal ghaib dan misteri. Karena itu haram hukumnya seseorang berpangku tangan tidak berusaha dengan alasan sudah taqdir. Padahal Allah sendiri sebagai Penulis Taqdir telah memerintahkan kita untuk berusaha dan bekerja serta berikhtiar. Karena itu menyalahkan taqdir adalah dosa karena melawan perintah Allah.
Jauh hari sebelum kita, orang-orangdahulu pun pernah berselisih paham tentang takdir ini menjadi dua kubu yang ekstrem. Yang pertama yang menyerahkan semua pada taqdir, tidak mau bekerja dan berusaha. Yang kedua yang tidak percaya pada taqdir dan berpendirian bahwa manusia 100% menentukan apa yang akan terjadi. Bagi Ahlussunnah wal jamaah, posisi yang benar adalah diantara keduanya, yaitu tidak menafikan taqdir tetapi tetap berusaha.
Orang yang bunuh diri tidak keluar dari taqdir Allah, karena kita baru tahu apakah suatu kejadian itu merupakan taqdir dari Allah atau bukan setelah kejadian itu berlangsung. Jadi bagaimana kita tahu bahwa orang bunuh diri itu takdirnya bukan seperti itu ? Apakah kita bisa tahu taqdir dari Allah sebelumnya sehingga bisa mengatakan bahwa taqdirnya tidak mati bunuh diri, tapi mati di tempat lain.
Sehingga `jatah` manusia bukanlah untuk mempertanyakana apakah suatu kejadian itu sudah sesuai dengan taqdir Allah atau tidak. Tetapi jatah kita hanyalah berusaha untuk mendapatkan kebaikan, kesehatan, keselamanat, keamanan dan semua yang baik-baik. Usaha itu sendiri merupakan perintah Allah.
Dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah SAW bersbda,”Tidak ada seorang pun dari kamu melainkan telah dicatat / ditentukan tempat kembalinya, ke surga atau ke neraka”. Para shahabat bertanya,”Kalau begitu sebaiknya kita meninggalkan ibadah dan amal lalu bertawakal saja ?”. Rasulullah SAW bersabda,”Beramallah, karena semua orang dimudahkan oleh Allah sesuai dengan penciptaannya”. (HR. Bukhari, Muslim)
Konsep taqdir.
Taqdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani.
a. Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik secara global maupun teperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas setiap gerak-gerik makhluknya.
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya , dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata "(QS. Al-an`am 59)
b. Al-Kitabah
Bahwa Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-Nya :
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab . Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.(QS. Al-Hajj : 70)
c. Al-Masyiah (kehendak)
Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat / masyiah (kehendak / keinginan) Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaannya yang tidak diinginkannya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-Nya.
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. (QS. Yasin : 82)
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada diantara mereka yang beriman dan ada di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.(QS. Al-Baqarah : 253)
d. Al-Khalqu
Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya.
Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.(QS. Az-Zumar : 2)
Wallahu a‘lam bis-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar